Selasa, 18 November 2014

Ringkasan Eskapisme Sastra Jawa

Tugas Meresum Prosa Jawa Modern
Kelompok :
1.      Zuliati                          2601412061
2.      Intan Nukhi Adhiya    2601412088
 
 


Ringkasan Buku Eskapisme Sastra Jawa
Pada buku ini benyak menjelaskan mengenai roman picisan yang banyak beredar pada awal kemerdekaan. Roman picisan dapat disebut sebagai kisah yang murah mengenai kejahatan, dan cinta. Picisan dapat diartikan sebagai harga yang murah yaitu satu picis sama dengan 10 sen, dan satu sen adalah seper seratus rupiah. Sedangkan roman, banyak yang mengartikan sebagai “romance” atau kisah percintaan.
Istilah roman picisan mulai diedarkan oleh seorang wartawan kemudian tiga tahun kemudian menjadi populer digunakan di kalangan umum. Istilah ini juga disebut dalam novel Kyai Franco yang menyebut bahwa novel yang berharga murah disebut novel picisan atau novel ketipan. Tetapi pada kala itu roman picisan hanya dimaknai sebatas harga yang murah.
Istilah dalam novel berbahasa jawa selanjutnya adalah Panglipur Wuyung. Yang pertama digunakan oleh Sikoet. Dan kemudian diikuti oleh beberapa pakar yang juga mengarang novel berbahasa jawa. Novel tersebut menggunakan istilah Panglipur Wuyung diartikan sebagai penghibur hati karena pada masa itu adalah masa orde lama dimana bangsa indonesia mengalami carut-marut.
Pada novel Panglipur wuyung banyak menggunakan sampul yang mendebarkan dan menggunakan sosok wanita sebagai model penggambaran sampul depan agak mengandung unsur pornografi. Tujuan dari penggunaan sampul pornografi adalah untuk menarik minat baca para pembeli. Sebenrnya di dalamnya tidak terdapat unsur pornografi hanya penggunaan kata-kata erotis sebagai penggambaran masyarakat pada kala itu. Harganya cukup murah yaitu 2 rupiah sedangkan beras hanya sekitar 7,5 rupiah. Sama dengan buku-buku TTS pada masa kini.
Seni dibagi dalam empat kelompok yaitu seni elit, seni populer, seni massa dan seni rakyat. Sastra jawa klasik merupakan kelompok seni elit karena tidak semua orang dapat membacanya. Sastra populer mucul dari  para kaum terpelajar dan untuk menu hiburan bagi kaum terpelajar. Contoh dari karya sastra populer adalah serat riyanto. Seni massa dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat terutama masyarakat menengah kebawah. Sedangkat seni rakyat berkembang di masyarakat pedesaan yang ekonominya menengah kebawah.
Pada tahun 1966, merupakan titik  balik dari pertumbuhan sastra jawa. Komres 951 Sala dalam operasi Tertib Remaja (Opterma) II meneliti 217 buku roman picisan dan menyita 59 buah buku roman picisan. 21 diantara merupakan judul roman picisan sastra jawa, karena isi dan pencitraaannya sangat buruk dan dinilai merugikan kaum remaja. Kemunduran penerbitan roman picisan itu diantisipasi dengan munculnya majalah berbahasa jawa. Mulai diterbitkan tahun 1967. Masa berakhirnya roman picisan juga memunculkan kembali penerbitan roman populer. Dua alasan mengapa roman picisan hilang. Pertama perekonomian sudah membaik, dan kedua proses pengindonesiaan sudah mulai terbentuk.
Situasi Sosial Politik
Tahun 1960 merupakan puncak kegagalan republik Indonesia. Situasi politik yang panas terjadi di jawa tengah, DIY, dan Jawa Timur. Dalam konteks situasi sosial politik yang represif, sentralistik, dan penuh gejolak itulah roman picisan sastra jawa dihadirkan di tengah-tengah masyarakat. Panasnya politik mulai reda setelah orde baru.
Situasi Sosial Ekonomi
Dampak politik yang panas berdampak pula pada bidang ekonomi. Kondisi perekonomian Indonesia sejak terbentuknya kabinet karya benar-benar nyaris runtuh. Inflasi tidak dapat dikendalikan dan mencapai sekitar 600 persen. Harga-harga naik 500 persen.kurs AS jatuh dari Rp 5.100,00 menjadi Rp 17.500,00 bahkan kemudian menjadi Rp 50.000,00 dalam rangkan membendung inflasi, uang pecahan 500 dan 1000 dikecilkan menjadi 50 dan 100. Situasi sosial ekonomi tidak dapat segera diatasi oleh pemerintah orde lama. Sosial ekonomi berangsur-angsur membaik pada masa orde baru.
Situasi Sosial Budaya
Perkembangan indonesia pada bidang pendidikan sangat mencolok. Masyarakat yang melek huruf makin meningkat berkat pendidikan. Dari 7,4 persen pada tahun 1930 menjadi 46,7 persen pada tahun 1961. Perkembangan penduduk juga berkembang pesat dari 30 juta menjadi 97,02 juta jiwa.tahun 70 masih banyak ditemukan bacaan berbahasa jawa tetapi diatas tahun 75 masyarakat yang melek bahasa jawa semakin sedikit karena berkurangnya pelajaran bahasa jawa di sekolah. Itu disebabkan tumbuh proses pengindonesiaan di kalangan masyarakat etnis Jawa. Proses kurikulum 1975 yang bertujuan menanamkan rasa kebangsaan sesungguhnya menjadi bumerang bagi pengembangan bahasa dan sastra Jawa.
Dalam sistem kepengarangan sastra jawa periode roman picisan pengarang yang keseluruhan karyanya berupa roman picisan yaitu (Any Asmara, Suharsisi Wisnu, Naning Saputro, dll) salah satu motivasi yang paling menonjol dalam penulisan roman picisan adalah motivasi ekonomi. Honor kepenulisan pada waktu itu cukup besar. Yaitu dua kali gaji pokok perbulan. Motivasi lain dari kepenulisan yaitu untuk mencari popularitas.
Biasanya profesi utama yang dimiliki oleh pengarang yaitu pekerja pers dan guru. Walaupun karya-karya mereka termasuk karya sastra roman picisan, pesan-pesan yang terkandung dalam karya mereka tetap berupa pesan moral dan etika. Pada masa itu sebagian besar pengarang jawa menggunakan nama samaran. Alasan menggunakan nama samaran hanya bersifat komersial untuk kepentingan bisnis. Menariknya, nama-nama pengarang perempuan digunakan oleh para pengarang laki-laki. Hal ini bertujuan untuk menarik perhatian pembeli.
Lokasi penerbit yang menerbitkan roman picisan tersebar di berbagai kota di pulau Jawa, yaitu Surakarta, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan Bandung. Penerbit roman picisan yang paling banyak dan produktif berdomisili di Surakarta. Yaitu penerbit keluarga subarno, FA Nasional, Subur, Burung Wali, Kancil Manis, dll. Penerbit roman picisan terbanyak kedua yaitu dikota Surabaya antara lain penerbit Aryati, dan Marfi’ah. Yang selanjutnya adalah Yogyakarta, Semarang dan Bandung.
Pemasaran roman picisan diantaranya dengan cara dititipkan, dan dijajakan. Tema yang ditampilkan oleh pengarang lebih menonjolkan percintaan sehingga mengarah pada pasar pembaca remaja. Sehingga para remaja dapat larut dan bersatu dalam dunia imajinasi saat membaca.
Struktur Internal Roman Picisan
Tema yang ditampilkan dalam roman picisan sastra jawa cukup beragam. Ada percintaan, rumah tangga, pendidikan, perjuangan, dan kisah detektif. Tema percintaan, contohnya adalah Putri Tirta Gangga, Puspitasari Prawan Bali, Pangorbanan, dll. Contoh roman picisan tema rumah tangga yaitu, Tumetesing Luh, Jagade Wis Peteng, Sambekalaning Bebrayan.dll. Contoh roman picisan tema detektif yaitu, Toping Setan, Rajapati Sing Nyalawadi, Kalung kang Nyalawadi, dll.



Dalam roman picisan, tokoh-tokoh idaman tidak hanya digambarkan berwajah tampan atau cantik. Termasuk dalam tokoh pewayangan. Tetapi juga memiliki kepribadian yang luhur dan utama seperti dalam roman Dawet Ayu . hal tersebut selaras dengan pandangan budaya jawa, yakni perilaku halus yang dipertentangkan dengan perilaku kasar.
Contoh roman picisan sebagai berikut:
Nalika R. Tejomoyo tindak tume menyang Primbon njujug ing kalurahan, dilalah sing ngladeni unjukan anake Pak Lurah Sulardi, yaiku Suwarni prawan desa kang klebu ayu rupane sajak ireng manis, ala-ala tilas murid SKP. Bareng pirsa marang Suwarni mau kontan Suwarni arep dipundhut selir. Dilalah embuh saka wedi, embuh kepengin muktekake anak, Pak Lurah Suladi ora kabotan. Wusana Suwarni sida diselir temenan.
Dengan kata lain, apabila pengarang kesulitan membangun alur cerita secara logis maka ia menggunakan dilalah sebagai alat pengesahnya. Jika dicermati, penggunaan latar sejarah dalam beberapa roman picisan sastra jawa digunakan oleh pengarang untuk lebih menghidupkan kisah dan tokoh-tokoh imajinatif. Disini, pengarang berusaha menampilkan tokoh-tokoh fiktif yang bermain dalam beberapa ruang dan waktu nyata (non fiktif). Pengarang juga menampilkan latar sosial dan budaya yang bersifat non fiktif contohnya roman Setan Roban karya Any Asmara. Roman Picisan sastra Jawa memiliki ciri pertama, menggunakan unsur kosakata bahasa indonesia, kedua digunakannya dialek, ketiga digunakannya ragam ngoko.
Simpulan

Ditegaskan bahwa kehadiran roman picisan dalam jagad sastra jawa dapat menjadi contoh menarik dan kongkrit tentang rumitnya sebuah jalinan antarsistem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar