Nama :
Zuliati
NIM :
2601412061
Rombel : 03
HIPOTESIS
SAPIR-WHORF
RELATIVITAS
BAHASA
Hipotesis Sapir-Whorf lazim disebut
teori relativitas bahasa. Edward Sapir (1884-1939) adalah seorang linguis
Amerika yang sangat memahami konsep-konsep linguistik Eropa sedangkan Benjamin
Lee Whorf (1897-1941) adalah muridnya. Mereka banyak mempelajari bahasa-bahasa
orang Indian.
Hipotesis ini sangatlah
kontroversial dengan pendapat sebagian ahli. Menurut hipotesis Sapir-Whorf/
teori relativias linguistic menunjukkan suatu dunia simbolik yang khas yang
melukiskan realitas pikiran, pengalaman batin dan kebutuhan si pemakainya. Jadi
bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan
jalan pikiran manusia; oleh karena itu, mempengaruhi pula tindak lakunya.
Dengan kata lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa lain, akan mempunyai
corak budaya dan jalan pikiran yang berbeda pula. Jadi, perbedaan-perbedaan
budaya dan jalan pikiran manusia itu bersumber dari pebedaan bahasa, atau tanpa
adanya bahasa, manusia tidak memiliki pikiran sama sekali. Kalau bahasa itu
mempengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran manusia, maka cirri-ciri yang ada
dalam suatu bahasa akan tercermin pada sikap dan budanya penuturnya. Contoh
yang paling mendasar adalah kata rice dalam bahasa Inggris, dapat diterjemahkan
menjadi tiga kata yang maknanya berbeda dalam bahsa Indonesia yaitu gabah,
beras dan nasi. Ini menujukkan bahwa orang Indonesia lebih peduli pada benda
ini daripada orang Inggris. Hal ini dapat digambarkan betapa pentingnya nasi
dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehingga ada ungkapan yang mengatakan
“belum makan kalau belum makan nasi”.
Walaupun mereka sudah makan roti
yang banyak, apabila belum makan nasi masih belum dikatakan makan yang
sebenarnya. Bahasa barat (Eropa) memiliki system kala (tenses), maka orang
Barat sebagai penutur bahasa memperhatikan dan malah terikat dengan waktu.
Mereka melakukan kegiatan selalu terikat dengan waktu. Begitu pun
kebiasaan-kebiasaan yang berkenaan dengan tindak tutur selalu terikat dengan
waktu. Pada musim panas pukul 21.00 rembulan masih bersinar terang, tetapi
anak-anak mereka (karena sudah menjadi kebiasaan) disuruh tidur karena katanya
hari sudah malam. Pukul 01.00 (sesudah pukul 24.00) meskipun masih gelap
gulita, bila bertemu mereka sudah akan saling menyapa dengan ucapan “selamat
pagi” karena katanya hari sudah pagi. Sebaliknya, bagi orang Indonesia karena
dalam bahasanya tidak ada sistem kala, maka menjadi tidak memperhatikan akan
waktu. Acara yang sudah terjadwalkan waktunya bisa mundur satu atau beberapa
jam kemudian. Itulah sebabnya ungkapan “jam karet” hanya ada di Indonesia.
Ilustrasi lain adalah tingkatan-tingkatan dalam bahasa daerah misalnya bahasa sunda. Dalam bahasa Sunda terdapat sejumlah kata untuk orang pertama, yaitu: abdi, kuring, ung, urang, kula, dewek dan aing, sedangkan untuk untuk orang kedua adalah andika, anjeun, aneh, silaing, sia. Kata “makan” dapat diterjemahkan menjadi sejumlah kata dalam bahasa Sunda, seperti:
Ilustrasi lain adalah tingkatan-tingkatan dalam bahasa daerah misalnya bahasa sunda. Dalam bahasa Sunda terdapat sejumlah kata untuk orang pertama, yaitu: abdi, kuring, ung, urang, kula, dewek dan aing, sedangkan untuk untuk orang kedua adalah andika, anjeun, aneh, silaing, sia. Kata “makan” dapat diterjemahkan menjadi sejumlah kata dalam bahasa Sunda, seperti:
Neda : untuk
makan sendiri.
Tuang : untuk
orang yang kita hormati.
Dhahar : untuk
teman sebaya yang sudah akrab (anehnya dahar ini justru halus dalam bahasa Jawa
setara dengan tuang dalam bahasa Sunda).
Nyatu : untuk
anak hewan.
Emam : untuk
anak kecil.
“The social situation requires a far
greater degree of rigidity. An extreme example found in Java, where society is
divided into three distinct social groups. At the top are the aristocrats, in
the middle are the townsfolk, and at the bottom are the farmers; each of these groups
has a distinct style speech associated with it”.
Hal ini menyebutkan
tingkatan-tingkatan dalam bahasa merupakan hal yang menunjukkan keadaan dan
situasi social dalam sebuah masyarakat. Ketika kita menggunakan bahasa daerah,
sifat bahasa daerah yang berlapis-lapis itu, sadar ataupun tidak memaksa kita
untuk memandang orang di hadapan kita dengan kategori tertentu sehingga bahasa
daerah dapat dikatakan bersifat feodalistik, tidak egaliter baik dalam
penggunaan kata ganti, kata sifat, maupun kata kerja berbeda dengan bahas
inggris yang lebih egaliter. Kita menggunakan kata ganti orang pertama I dan
kata ganti orang kedua you kepada siapapun, tak peduli apapun jabatan mereka
baik dalam situasi formal maupun informal.
Hipotesis Sapir-Whorf menyatakan
perbedaan berfikir disebabkan oleh bahasa ini. Orang Arab melihat realitas
secara berbeda dengan orang Jepang, sebab bahasa Arab tidak sesama bahasa
Jepang. Whorf menegaskan realitas itu tidaklah terpampang begitu saja di depan
kita lalu, lalu kita memberinya nama satu per satu. Yang terjadi sebenarnya
menurut Whorf, adalah sebaliknya bahwa kita membuat peta realitas tersebut,
yang dilakukan atas dasar bahasa yag kita pakai, bukan atas dasar realitas itu.
Umpamanya jenis warna di seluruh dunia ini sama, tetapi mengapa setiap bangsa
yang berbeda bahasanya, melihatnya sebagai sesuatu yang berbeda. Orang Inggris
mengenal warna dasar white, red, green, yellow, blue, brown, purple, pink,
orange, grey. Penutur bahasa Hunanco di Filipina hanya mengenal 4 warna saja
yaitu mabiru (hitam dan warna gelap), melangit (putih dan warna cerah), meramar
(kelompok warna merah), malatuy (kuning, hijau muda, dan coklat muda).
Dalam penjelasan diatas secara
implisit teori ini menyatakan bahwa:
1. Tanpa bahasa
kita tidak dapat berfikir.
2.
Bahasa mempengaruhi persepsi.
3.
Bahasa mempengaruhi pola berfikir.
Teori
relativitas linguistic tidak hanya terikat dalam aspek linguistik akan tetapi
mencakup ranah sosiologi, psikologi dan antropologi.
Referensi :
Sapir-Worf (2002). Linguistic Relativity. Linguistic Relativity , 917-921.
Sapir-Worf (2002). Linguistic Relativity. Linguistic Relativity , 917-921.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar