Dalam
sistem kepengarangan sastra jawa periode roman picisan pengarang yang
keseluruhan karyanya berupa roman picisan yaitu (Any Asmara, Suharsisi Wisnu,
Naning Saputro, dll) salah satu motivasi yang paling menonjol dalam penulisan
roman picisan adalah motivasi ekonomi. Honor kepenulisan pada waktu itu cukup
besar. Yaitu dua kali gaji pokok perbulan. Motivasi lain dari kepenulisan yaitu
untuk mencari popularitas.
Biasanya
profesi utama yang dimiliki oleh pengarang yaitu pekerja pers dan guru.
Walaupun karya-karya mereka termasuk karya sastra roman picisan, pesan-pesan
yang terkandung dalam karya mereka tetap berupa pesan moral dan etika. Pada masa itu sebagian besar pengarang jawa
menggunakan nama samaran. Alasan menggunakan nama samaran hanya bersifat
komersial untuk kepentingan bisnis. Menariknya, nama-nama pengarang perempuan
digunakan oleh para pengarang laki-laki. Hal ini bertujuan untuk menarik
perhatian pembeli.
Lokasi penerbit yang menerbitkan roman picisan
tersebar di berbagai kota di pulau Jawa, yaitu Surakarta, Yogyakarta, Semarang,
Surabaya, dan Bandung. Penerbit roman picisan yang paling banyak dan produktif
berdomisili di Surakarta. Yaitu penerbit keluarga subarno, FA Nasional, Subur,
Burung Wali, Kancil Manis, dll. Penerbit roman picisan
terbanyak kedua yaitu dikota Surabaya antara lain penerbit Aryati, dan
Marfi’ah. Yang selanjutnya adalah Yogyakarta, Semarang dan Bandung.
Pemasaran
roman picisan diantaranya dengan cara dititipkan, dan dijajakan. Tema yang
ditampilkan oleh pengarang lebih menonjolkan percintaan sehingga mengarah pada
pasar pembaca remaja. Sehingga para remaja dapat larut dan bersatu dalam dunia
imajinasi saat membaca.
Keadaan
masyarakat saat itu sangat memprihatinkan. Keuangan
negara carut marut dan harga bahan-bahan pokok melambung tinggi. Saat itulah
saat-saat krisis moneter orde baru dan kolonialisme. Masyarakatnya miskin dan
mereka butuh bahan untuk menghibur diri dengan harga murah. Dengan adanya
novel-novel panglipur wuyung, masyarakat menjadi terhibur dan hiburan tersebut
menjadi hiburan tersendiri bagi para rakyat Indonesia.
Penulis memanfaatkan momentum ini untuk mengambil
keuntungan. Pada masa itu para penulis banyak yang tidak memiliki pekerjaan
lain selain menulis. Sehingga mereka berlomba-lomba untuk menulis semenarik
mungkin dan mereka berlomba untuk mengedarkan sebanyak-banyaknya. Itulah mengapa
banyak unsure eskapisme melekat pada karya sastra jawa dahulu. Tidak lain
supaya banyak peminat dan laku di pasaran.
Ditulis Oleh: Intan Nukhi Adhiya
Ditulis Oleh: Intan Nukhi Adhiya